"Dulu, masjid Jamik ini tidak hanya pusat
beribadah tapi juga tempat pertemuan masyarakat atau menyelesaikan
perkara yang terjadi di Ranai. Saat Bung Hatta datang ke Natuna, dia
juga singgah di Masjid Ranai"
Berkunjung ke Ranai, ibukota Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau,
tanpa tidak singgah di Masjid Jamik Ranai, seseorang akan kehilangan
salah satu jejak sejarah Natuna.
Masjid yang berada di perempatan Jalan Soekarno Hatta dengan Jalan Wan Muhammad Benteng itu dibangun setelah kemerdekaan Republik Indonesia oleh seorang tokoh masyarakat setempat, Wan Muhammad Benteng, yang bergelar Datuk Kaya Bunguran Timur.
Awal mulanya masjid ini dibangun terbuat dari kayu dan merupakan satu-satunya masjid yang ada di Ranai, yang kala itu masih amat sunyi dan masih berstatus kewedanaan (Ranai, ibukota kewedaan Pulau Tujuh) dengan penduduk hanya beberapa orang saja.
Kampung Ranai berada di Pulau Bungguran, pulau terbesar di wilayah Natuna. Natuna dulunya lebih dikenal sebagai wilayah Pulau Tujuh yakni pulau-pulau yang berada di perairan Laut China Selatan di antaranya Pulau Jemaja, Siantan, Midai, Bunguran Barat, Bunguran Timur, Serasan dan Tambelan.
Sebagai satu-satunya masjid yang menjadi tempat singgah para saudagar atau pedagang keliling dan pelaut, Masjid Jamik memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun aktivitas kemasyarakatan. Imam pertama di masjid tersebut adalah Ustad Abu Bakar yang merupakan seorang ulama dari Singapura.
"Dulu, masjid Jamik ini tidak hanya pusat beribadah tapi juga tempat pertemuan masyarakat atau menyelesaikan perkara yang terjadi di Ranai. Saat Bung Hatta datang ke Natuna, dia juga singgah di Masjid Ranai," ujar H. Wan Suhardi, ketua Pengurus Masjid Jamik.
Seingat dia, Bung Hatta datang ke Ranai melalui Pelabuhan Penagih, sebuah perkampungan yang kala itu merupakan pusat perdagangan di Ranai, dan kini hanyalah sebuah kampung yang telah ditinggalkan penduduknya.
Kehadiran Bung Hatta di masjid tersebut sangat menarik perhatian masyarakat, bahkan masyarakat yang berada di ceruk-ceruk kampung di Pulau Bungguran dan pulau-pulau kecil lainnya datang dan memadati masjid Jamik.
"Penuh sesak orang datang ke masjid. Waktu itu saya masih kecil. Seingat saya, masjid itu pagarnya dulu dari rantai kapal. Besar-besar rantai besinya," katanya.
Selain berkunjung ke Ranai, Bung Hatta juga berkunjung ke Midai, sebuah pulau di Natuna yang terkenal sebagai penghasil cengkeh.
Suhardi yang juga cucu dari Wan Muhammad Benteng mengungkapkan, masjid yang dulunya berhalaman luas itu dibangun dengan cara gotong royong dengan pondasi dari batu laut.
"Dari cerita ayah saya, kala itu jika ada warga (laki-laki) yang tidak shalat Jumat, maka kakek saya menghukum mereka dengan mengambil batu laut untuk dijadikan pondasi masjid," ujar Suhardi.
Walaupun bangunan masjid berpondasikan batu laut, namun dindingnya terbuat dari kayu bulian dan beratap model limas dengan satu kubah.
Tahun 1982, masjid kayu tersebut diubah dengan bangunan batu, namun kusen yang terbuat dari kayu bulian tetap dipertahankan, begitu juga model atapnya dan ukuran masjid pun tetap, yakni 17 x 17 meter persegi.
Menurut mantan penyiar RRI Ranai ini, luasan lantai masjid tersebut menggambarkan jumlah rakaat shalat lima waktu yang dapat menampung sekitar seribu jamaah hingga ke beranda masjid.
Walau bangunan masjid dari kayu telah berganti dengan batu, namun pihaknya sebagai pengurus tidak bisa begitu saja membesarkan ruangan masjid agar dapat menampung jamaah lebih ramai, karena ada pesan tidak tertulis dari pendirinya bahwa masjid boleh diperbesar.
"Pesan dari orang tua kami seperti itu masjid boleh saja diperlebar tapi mimbar tidak boleh dipindahkan. Akibatnya sampai sekarang masjid ukurannya tetap lagi pula halamannya yang dulu luas kini telah termakan pula untuk jalan umum," katanya.
Selain halaman luas yang telah hilang akibat perombakan bangunan masjid dan makin terjepitnya lokasi masjid oleh pertokoan dan rumah warga, yang juga ikut hilang adalah jam matahari yang berada di sisi selatan masjid.
Jam matahari yang berukuran tinggi sehasta itu dulunya terpancang di halaman samping masjid dan dipagari kayu. Jam seperti menara mini itu ujungnya terbuat dari paku panjang.
"Saat awal dibangun dulu, mana ada jam dinding, untuk mengetahui masuknya waktu shalat, jam matahari itulah yang memandu bilal mengumandangkan azan zuhur, ashar atau magrib," katanya.
Ia mengungkapkan, jejak sejarah lain yang hilang dari bagian masjid adalah pagar rantai kapal yang dulu mengelilingi bangunan halamna masjid.
"Sekarang orang sudah ramai, beda dengan dulu masih sunyi, lagi pula zaman sekarang besi sangat laku, itu mungkin yang menyebabkan ikut hilangnya pagar rantai besi," ujar Suhardi.
Ia mengaku, sejak 2005, sepulang dari haji, ia menjadi pengurus masjid yang dulunya dibangun oleh kakeknya itu.
Walau, masjid lain terus dibangun seiring dengan makin ramainya penghuni Pulau Bunguran dan Ranai menjadi ibukota Kabupaten Natuna, namun Masjid Jamik Ranai tetap dipadati jamaah apatah lagi di bulan puasa ini.
Saban bulan puasa, pihak masjid menyiapkan makanan untuk berbuka bagi masyarakat yang beribadah di masjid tua nan bersejarah tersebut.
Masjid yang berada di perempatan Jalan Soekarno Hatta dengan Jalan Wan Muhammad Benteng itu dibangun setelah kemerdekaan Republik Indonesia oleh seorang tokoh masyarakat setempat, Wan Muhammad Benteng, yang bergelar Datuk Kaya Bunguran Timur.
Awal mulanya masjid ini dibangun terbuat dari kayu dan merupakan satu-satunya masjid yang ada di Ranai, yang kala itu masih amat sunyi dan masih berstatus kewedanaan (Ranai, ibukota kewedaan Pulau Tujuh) dengan penduduk hanya beberapa orang saja.
Kampung Ranai berada di Pulau Bungguran, pulau terbesar di wilayah Natuna. Natuna dulunya lebih dikenal sebagai wilayah Pulau Tujuh yakni pulau-pulau yang berada di perairan Laut China Selatan di antaranya Pulau Jemaja, Siantan, Midai, Bunguran Barat, Bunguran Timur, Serasan dan Tambelan.
Sebagai satu-satunya masjid yang menjadi tempat singgah para saudagar atau pedagang keliling dan pelaut, Masjid Jamik memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun aktivitas kemasyarakatan. Imam pertama di masjid tersebut adalah Ustad Abu Bakar yang merupakan seorang ulama dari Singapura.
"Dulu, masjid Jamik ini tidak hanya pusat beribadah tapi juga tempat pertemuan masyarakat atau menyelesaikan perkara yang terjadi di Ranai. Saat Bung Hatta datang ke Natuna, dia juga singgah di Masjid Ranai," ujar H. Wan Suhardi, ketua Pengurus Masjid Jamik.
Seingat dia, Bung Hatta datang ke Ranai melalui Pelabuhan Penagih, sebuah perkampungan yang kala itu merupakan pusat perdagangan di Ranai, dan kini hanyalah sebuah kampung yang telah ditinggalkan penduduknya.
Kehadiran Bung Hatta di masjid tersebut sangat menarik perhatian masyarakat, bahkan masyarakat yang berada di ceruk-ceruk kampung di Pulau Bungguran dan pulau-pulau kecil lainnya datang dan memadati masjid Jamik.
"Penuh sesak orang datang ke masjid. Waktu itu saya masih kecil. Seingat saya, masjid itu pagarnya dulu dari rantai kapal. Besar-besar rantai besinya," katanya.
Selain berkunjung ke Ranai, Bung Hatta juga berkunjung ke Midai, sebuah pulau di Natuna yang terkenal sebagai penghasil cengkeh.
Suhardi yang juga cucu dari Wan Muhammad Benteng mengungkapkan, masjid yang dulunya berhalaman luas itu dibangun dengan cara gotong royong dengan pondasi dari batu laut.
"Dari cerita ayah saya, kala itu jika ada warga (laki-laki) yang tidak shalat Jumat, maka kakek saya menghukum mereka dengan mengambil batu laut untuk dijadikan pondasi masjid," ujar Suhardi.
Walaupun bangunan masjid berpondasikan batu laut, namun dindingnya terbuat dari kayu bulian dan beratap model limas dengan satu kubah.
Tahun 1982, masjid kayu tersebut diubah dengan bangunan batu, namun kusen yang terbuat dari kayu bulian tetap dipertahankan, begitu juga model atapnya dan ukuran masjid pun tetap, yakni 17 x 17 meter persegi.
Menurut mantan penyiar RRI Ranai ini, luasan lantai masjid tersebut menggambarkan jumlah rakaat shalat lima waktu yang dapat menampung sekitar seribu jamaah hingga ke beranda masjid.
Walau bangunan masjid dari kayu telah berganti dengan batu, namun pihaknya sebagai pengurus tidak bisa begitu saja membesarkan ruangan masjid agar dapat menampung jamaah lebih ramai, karena ada pesan tidak tertulis dari pendirinya bahwa masjid boleh diperbesar.
"Pesan dari orang tua kami seperti itu masjid boleh saja diperlebar tapi mimbar tidak boleh dipindahkan. Akibatnya sampai sekarang masjid ukurannya tetap lagi pula halamannya yang dulu luas kini telah termakan pula untuk jalan umum," katanya.
Selain halaman luas yang telah hilang akibat perombakan bangunan masjid dan makin terjepitnya lokasi masjid oleh pertokoan dan rumah warga, yang juga ikut hilang adalah jam matahari yang berada di sisi selatan masjid.
Jam matahari yang berukuran tinggi sehasta itu dulunya terpancang di halaman samping masjid dan dipagari kayu. Jam seperti menara mini itu ujungnya terbuat dari paku panjang.
"Saat awal dibangun dulu, mana ada jam dinding, untuk mengetahui masuknya waktu shalat, jam matahari itulah yang memandu bilal mengumandangkan azan zuhur, ashar atau magrib," katanya.
Ia mengungkapkan, jejak sejarah lain yang hilang dari bagian masjid adalah pagar rantai kapal yang dulu mengelilingi bangunan halamna masjid.
"Sekarang orang sudah ramai, beda dengan dulu masih sunyi, lagi pula zaman sekarang besi sangat laku, itu mungkin yang menyebabkan ikut hilangnya pagar rantai besi," ujar Suhardi.
Ia mengaku, sejak 2005, sepulang dari haji, ia menjadi pengurus masjid yang dulunya dibangun oleh kakeknya itu.
Walau, masjid lain terus dibangun seiring dengan makin ramainya penghuni Pulau Bunguran dan Ranai menjadi ibukota Kabupaten Natuna, namun Masjid Jamik Ranai tetap dipadati jamaah apatah lagi di bulan puasa ini.
Saban bulan puasa, pihak masjid menyiapkan makanan untuk berbuka bagi masyarakat yang beribadah di masjid tua nan bersejarah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar