Jika dipandang dari berbagai sisi, Kabupaten Natuna memiliki berbagai potensi sehingga patut dijuluki sebagai Mutiara diujung Utara. beberapa faktor pendukungnya adalah sebagai berikut :
Pertama, Natuna sebagai Mutiara Perbatasan. Sebutan Natuna sebagai kota perbatasan tidak bisa dinafiskan karena letak geografisnya yang berada pada posisi perbatasan Indonesia Bagian Barat. Letak Kabupaten Natuna secara geografism sangat strategis,karena berada diantara jalur perdagangan internasional.Kabupaten Natuna merupakan wilayah yang perbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga :
Sebelah Utara : Vietnam dan Kamboja
Sebelah Timur : Malaysia Timur & Kalimantan Barat
Sebelah Selatan : Kabupaten Kepulauan Anambas
Sebelah Barat : Semenanjung Malaysia
Kondisi geografis diatas, menjadikan kekuatan dan peluang terhadap pengembangan berbagai sektor seperti pengembangan berbagai industri perikanan, kelautan, transit, dan berbagai macam investasi usaha dan jasa lainnya.
Kedua, Natuna Sebagai Mutia Energi. Predikat tersebut diberikan kepada Natuna dengan mengacu pada potensi Sumber Daya Alam Natuna yang memiliki sumber energi dan cadangan LNG terbesar di dunia. Kekayaan Sumber Daya Alam ini membuat Natuna telah dikenal sejak lama khususnya bagi dunia industri Perminyakan. Pengembangan & eksplorasinya akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Natuna terutama apabila pembangunan kilang-kilang di tempatkan di pulau Natuna.
Ketiga, Natuna sebagai Mutiara Pariwisata. Meski belum dikenal luas layaknya Bali, Yogyakarta, dan Lagoi di Bintan Kepulauan Riau, namun dilihat dari potensinya, struktur wilayah Kabupaten Natuna yang terdiri dari 97% lautan dan hanya 3% daratan dan berada dilaut cina selatan telah membentuk Natuna menjadi daerah yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang dihiasi dengan pantai-pantai yang putih dan batu-batuan granit raksasa dipantai dan daratannya. Dari sisi kelautan, Natuna juga memiliki potensi wisata bahari yang cukup menarik dengan keindahan alam bawah laut ,terumbu karan dan berbagai jenis ikan, dan hingga saat ini Natuna sering pula dikunjungi oleh penggemar wisata pancing yang sengaja datang untuk memancing di perairan Natuna.
keempat, Natuna Sebagai Mutiara Budaya. Disamping potensi Wisata, Natuna juga memiliki kekayaan dan keragaman budaya baik dari kesenian, sejarah maupun cagar budaya. Sejak Abad ke-17 pulau Natuna terkenal diseluruh Nusantara maupun China dan negara-negara lainnya. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, Natuna menjadi tempat berteduh dari amukan Badai Laut Cina Selatan yang ganas. Kepulauan Natuna pada masa itu menjadi tempat berteduh sekaligus sebagai tempat untuk mengisi air bersih dan perbekalan lainnya guna meneruskan pelayaran. Pelayaran yang melewati Kepulaun Natuna, pada masa itu dilakukan karena aktivitas perdagangan dengan Cina, Siam, dan Campa. Kondisi ini telah menjadikan Natuna sebagai daerah yang kaya akan peninggalan nilai-nilai sejarah, barang-barang antik dan kuno yang ada di daratan maupun di bawah laut. Kehidupan masyarakat Natuna juga dihiasi dengan beragam kesenian yang telah terbentuk sesuai dengan perjalanan masa dan bertahan hingga saat ini. Sebagai daerah transit, pada zaman dahulu, pola dan bentuk kesenian yang ada di Natuna telah membaur memiliki warna yang beragam seperti percampuran kebudayaan Cina, Siam Melayu dan Arab seperti Mendu, berdah, zapin, ayam sudur, hadrah dan berbagai kesenian lainnya.
SUMBER : Buku Kebudayaan Cagar Budaya KAB.Natuna , diterbitan oleh Dinas Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Natuna.
"Semoga Bermanfaat"
KUMPULAN MAKALAH EKONOMI SYARI'AH (STAI) NATUNA
Jumat, 09 November 2012
Senin, 05 November 2012
Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat : Malin Kundang Anak Durhaka
Malin Kundang Anak Durhaka.
Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.
Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”
Wanita
tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke
rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat
demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar,
Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin
menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke
langit.
Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”
Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.
Malin
dan ibunya tinggal di perkampungan nelayan. Ibunya sudah tua ia hanya
bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya
mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak
pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya
unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.
Nyawa
Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha
keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang.
Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin
juga amat sayang kepada ibunya.
Ketika
sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada
saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.
“Bu,
ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun
sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah
nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”
Meski
dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi.
Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh
bungkus.
Hari-hari
berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande
Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di
manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke
pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke atas
sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal
yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi
semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang
memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada
ibunya.
Itulah
yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun.
Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai
terbungkuk-bungkuk.
Pada
suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa
Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik
putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu.
Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.
Namun
hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga
datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti
akan kembali.
Harapannya
terkabul.
Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal
yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat –
tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau
seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Ketika
kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan.
Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah
dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande
Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya
berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah
anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum
lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri
Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan
anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.
“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin
terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang –
camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat
Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat
menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang,
istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk
inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu
benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya.
Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya
sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat
dan dekil!”
Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”
Tidak
lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah
menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah
bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal
malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal
itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika
matahari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit
terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin
Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai
tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena
kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan
teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari
serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah
sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip
kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia.
Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang
meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !”
konon itulah suara si Malin Kundang.
Langganan:
Postingan (Atom)